Sekarang ada yang namanya alat
penyaring air (water filter). Prosesnya yaitu hanya dengan memasukkan air yang
semulanya keruh dan akan keluar dalam keadaan bening seperti tidak tercampur
kotoran sedikitpun. Sebenarnya komponen alat ini sangatlah simpel sekali, yaitu
tersusun dari beberapa macam batu yang disusun dengan kerapatan yang
berbeda-beda.
Jika air yang dimasukkan itu
keruh, namun secara fiqh masih dihukumi suci, semisal : air yang hanya
tercampur dengan debu-debu suci, maka ini tidak menimbulkan masalah.
Akan tetapi permasalahan muncul
apabila air keruh tersebut najis, lantas setelah disaring air ini menjadi
bening kembali, maka bagaimana hukum kesucian air tersebut?
Perlu diketahui terlebih dahulu
bahwa air itu dibagi menjadi dua yaitu : air sedikit (kurang dari dua qullah)
dan air banyak (dua qullah lebih). Air sedikit dapat dikatakan najis
ketika terkena najis walaupun najisnya sedikit, sedangkan air banyak meskipun
terkena najis tidak bisa dikatakan selama tidak berubah, baik dari warna, bau,
ataupun rasa. Ukuran dua qullah yaitu sekitar 176,580 liter (dalam
bentuk kubus kurang lebih 55,9 cm), ini menurut versi Imam Nawawi.
Sehingga dalam kasus
ini air najis yang telah melewati proses penyaringan ini bisa dihukumi suci
apabila sifat-sifat najisnya telah hilang dan air yang dihasilkan lebih dari
dua qullah. Bahkan ketika airnya
kembali keruh, hukumnya tetap suci (tidak kembali najis), karena dalam kaidah
fiqih dikatakan :
الزائل
العائد كالذي لم يعد
“Sesuatu
yang hilang (perubahan air) dan telah kembali, seperti sesuatu yang tidak
kembali”
Pendapat ini juga didukung dari
penjelasan para ulama, seperti dalam kitab Hasyiyah Jamal :
{فإن زال
تغيره} الحسي أو التقديري {بنفسه} أي لا بعين كطول مكث {أو بماء} انضم إليه ولو
نجسا أو أخذ منه والباقي قلتان {طهر} لانتفاء علة التنجس ولا يضر عود تغيره إذا
خلا عن نجس جامد أما إذا زال حسا بغيرهما كمسك وتراب وخل فلا يطهر للشك في أن
التغير زال أو استتر بل الظاهر أنه استتر فإن صفا الماء ولا تغير به طهر
(Jika
perubahannya hilang) baik yang berubahnya terlihat atau hanya dikira-kirakan
(sebab dirinya sendiri) yakni tidak sebab benda, seperti terlalu lama diam
(atau sebab air) yang terkumpul padanya, meskipun air itu najis atau airnya
diambil, sedangkan sisanya masih ada dua qullah (maka hukumnya suci) karena alasan najisnya
telah hilang (Lihat Hasyiyah Jumal, Dar al-Fikri, Juz 1 Hal. 43)